Daán yahya/Republika

Pembukuan hadis mulai berkembang pesat pada masa Dinasti Umayyah.

Oleh: Hasanul Rizqa

Islam memiliki dua sumber utama, yakni Alquran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Keduanya pun menjadi sumber syariat sehingga tidak terpisahkan satu sama lain. Syekh Yusuf Qardhawi dalam sebuah karyanya, Kaifa Nata’amalu ma’a as-Sunnah an-Nabawiyyah, menjelaskan, Sunnah merupakan penafsiran Alquran dalam praktik. Sebab, Allah SWT sendiri telah menegaskan, beliau adalah contoh bagi sekalian manusia. “Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian” (QS al-Ahzab: 21).

 

Istilah lain untuk Sunnah Nabi SAW adalah hadis atau al-hadits. Secara kebahasaan, hadits memiliki sejumlah arti, yakni ‘baru’, ‘sesuatu yang dikutip’, serta ‘sesuatu yang sedikit dan banyak.’ Menurut Syekh Manna al-Qaththan dalam Mabahits fii ‘Ulumil Hadits, pengertian hadis adalah apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, penetapan, sifat, atau sirah beliau, dalam masa sebelum ataupun sesudah kenabiannya.

 

Sementara itu, para ahli ilmu usul fikih (ushul fiqh) mengajukan pandangan yang agak berbeda. Mereka berpandangan, hadis adalah perkataan, perbuatan, dan penetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW setelah kenabian. Apa-apa yang berasal dari beliau sebelum diangkat menjadi utusan Allah tidak bisa dianggap sebagai hadis. Sebab, lanjut mereka, yang dimaksud dengan hadis ialah mengerjakan apa yang menjadi konsekuensinya. Ibnu Taimiyah berkata, “Ijmak kaum Muslimin menetapkan bahwa yang diwajibkan kepada hamba Allah untuk diimani dan diamalkan adalah apa yang dibawa Nabi SAW setelah kenabian.”

 

Apakah hadis ditulis beriringan dengan penulisan Alquran? Ternyata, bukan demikian halnya. Sejak Nabi SAW menerima wahyu, sejumlah sahabat beliau menuliskan atau mencatat Alquran pada pelbagai alas, semisal pelepah kurma, lembaran kulit ternak, permukaan batu, dan sebagainya. Di antara banyak sahabat yang dikenal sebagai pencatat Alquran ialah Zaid bin Tsabit, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, serta Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Rasulullah SAW menyuruh mereka untuk menuliskan ayat-ayat suci sebagai ikhtiar dalam menjaga memori kaum Muslimin tentang Kitabullah. Alhasil, catatan dan hafalan Alquran saling mendukung satu sama lain.

 

Alih-alih menginstruksikan atau menyarankan, Nabi SAW terlebih dahulu pernah melarang para sahabat untuk mencatat hadis. Pelarangan itu diungkapkan dalam berbagai riwayat, seperti yang berasal dari Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id al-Khudri. Sebagai contoh, al-Khudri meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kamu sekalian menulis apa pun dariku. Dan, barangsiapa yang menulis dariku selain Alquran, maka hapuslah” (HR Muslim).

 

Pada suatu ketika, Abu Hurairah dan beberapa Muslimin sedang menulis. Keduanya kemudian dilihat Rasulullah SAW.

 

“Apa yang telah kalian tulis?” tanya Nabi SAW.

 

“Perkataan (hadis-hadis) yang telah kami dengar darimu, ya Rasulullah,” jawab mereka.

 

“Kitab selain Kitabullah (Alquran)? Tidakkah kalian tahu, umat-umat sebelum kalian tidaklah tersesat kecuali karena telah menulis kitab-kitab bersama kitab Allah?” tanya beliau retoris.

 

Maknanya, Rasulullah SAW saat itu belum meridhai umat Islam untuk menuliskan apa pun yang bersumber dari diri beliau selain Alquran.

DOK  WIKIPEDIA

Barulah beberapa waktu kemudian, Nabi SAW membolehkan penulisan hadis meskipun secara terbatas. Beberapa sahabat yang mendapatkan kebolehan itu ialah, antara lain, Abdullah bin Amr, Abu Syah, dan Ali bin Abi Thalib. Putra Amr bin Ash itu menuturkan, “Aku telah mencatat segala yang kudengar dari Rasulullah SAW karena hendak menghafalnya. Mengetahui itu, kaum Quraisy melarangku seraya berkata, ‘Apakah kamu menulis segala sesuatu dari Rasulullah, sementara Rasulullah sendiri adalah manusia biasa yang bertutur baik saat marah dan ridha?’ Maka aku pun menghentikan aktivitas penulisan itu.

 

Namun, hal itu kemudian sampai kepada Rasulullah SAW. Aku melihat beliau mengangguk dan mengarahkan jarinya pada mulutnya seraya bersabda, ‘Tulislah. Demi Zat yang jiwaku dalam kekuasaan-Nya, tidak ada sesuatu yang keluar dari sini (mulut Nabi SAW) kecuali kebenaran.’”

 

Transisi dari adanya pelarangan hingga pembolehan menulis hadis-hadis dapat dipahami dengan konsep nasakh-mansukh. Maksudnya, instruksi Nabi SAW yang melarang penulisan hadis-hadis dihapus (mengalami nasakh) pembolehan dari beliau sendiri atas penulisan hadis-hadis. Kalau menilik pada sejarah, pelarangan menulis hadis itu berlangsung pada masa awal syiar Islam. Ketika Muslimin sudah mengingat dengan kuat Alquran, maka hilanglah kekhawatiran bahwa teks Kitabullah akan tercampur dengan teks hadis. Alhasil, penulisan Sunnah Rasul SAW pun dibolehkan oleh beliau meskipun secara terbatas pada beberapa sahabat.

 

Terlebih lagi, jumlah kaum Muslimin, khususnya sejak periode Madinah, sudah meningkat signifikan. Para penghafal (hafiz) Alquran pun kian banyak. Mereka umumnya sudah mampu membedakan antara kandungan Alquran dan perkataan Nabi SAW. Maka dari itu, pembolehan mencatat hadis pun sangat memungkinkan.

 

Tonggak penulisan hadis

 

Walaupun pada masa awal Islam sudah ada catatan-catatan hadis yang ditulis beberapa sahabat, penulisan hadis secara khusus baru dimulai sejak permulaan abad kedua Hijriyah. Waktu itu, Muslimin diperintah oleh Kekhalifahan Bani Umayyah. Raja kedelapan Dinasti Umayyah, Umar bin bin Abdul Aziz, mendukung upaya-upaya pembukuan sunah.

 

Putra cucu Umar bin Khattab itu khawatir, banyak hadis Nabi SAW akan berangsur-angsur hilang kalau tidak segera dikumpulkan dan dibukukan. Terlebih lagi, ia menyadari, banyak sahabat dan penghafal hadis telah berpulang ke rahmatullah. Dengan wafatnya mereka, umat semakin memerlukan ikhtiar nyata agar hadis-hadis terpelihara dari ungkapan-ungkapan orang lain yang dikira bersumber dari Rasulullah SAW (hadis palsu).

 

Dengan dukungan alim ulama, Khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan gubernur Madinah saat itu, Abu Bakar bin Muhammad, untuk mengumpulkan hadis dari para penghafal hadis. Di antaranya adalah Amrah binti Abdurrahman dan Qasim bin Muhammad—cucu Abu Bakar ash-Shiddiq. Keduanya adalah ulama besar Madinah yang banyak menerima hadis, terutama dari riwayat ummul mukminin, ‘Aisyah. Seorang ulama lainnya, Muhammad bin Syihab az-Zuhri, juga diminta untuk mengumpulkan hadis dari para penghafal sunah, tidak hanya di Hijaz tetapi juga Syam (Suriah). Dari generasi tabiin, az-Zuhri menjadi ulama pertama yang membukukan hadis.

Periode ini (abad ketiga Hijriyah) juga dinamakan sebagai Abad Pembukuan Hadis (Tadwin).

Pengumpulan, penulisan, dan pembukuan hadis mulai saat itu semakin berkembang. Selama abad kedua Hijriyah, cukup banyak ulama yang dikenal sebagai penghimpun hadis. Di antaranya adalah Malik bin Anas (Imam Malik), Abdul Malik bin Abdul Aziz al-Juraij, Hammad bin Salamah al-Bashri, dan Sufyan ats-Tsauri. Antusiasme studi ilmu hadis pun menyebar ke pelbagai wilayah kedaulatan Islam, tidak hanya di Jazirah Arab, tetapi juga Mesir, Suriah, dan Irak.

 

Pada masa itu, penulisan hadis masih mencampurkan antara sabda Rasulullah SAW dan fatwa para sahabat serta ulama tabiin. Sebagai contoh, kitab Al-Muwatta’ karya Imam Malik. Kitab-kitab hadis yang sezaman dengannya di kemudian hari disebut sebagai al-musnad atau al-mu’jam. Itu berarti, kitab-kitab itu disusun berdasarkan urutan nama sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW. Kategori demikian dinamakan pula al-jami’. Sebab, kitab hadis itu memuat delapan pokok masalah, yakni akidah, hukum, tafsir, etika, tarikh, sejarah kehidupan Nabi SAW, akhlak, serta perbuatan baik dan tercela.

 

Barulah pada periode selanjutnya, yakni generasi tabiit tabiin, para ulama mulai memisahkan antara sabda Nabi SAW dan fatwa para sahabat serta tabiin dalam penulisan hadis. Mereka hanya menuliskan hadis yang merupakan perkataan beliau, lengkap dengan periwayatan (sanad). Maka dari itu, karya-karyanya dalam disiplin ilmu hadis disebut pula sebagai musnad.

 

Dari generasi tersebut, seorang alim yang menulis genre musnad itu ialah Abu Dawud Sulaiman at-Tayalisi. Ketekunannya menjadi teladan para ulama sesudahnya. Di antara mereka adalah Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali), Ishaq bin Rahawaih, Musa al-Abbasi, dan Musaddad al-Bashri. Musnad al-Imam Ahmad Ibn Hanbal dipuji sebagai salah satu musnad terlengkap. Bagaimanapun, dalam penyusunannya Imam Hambali kerap mencampurkan hadis-hadis yang berstatus sahih, hasan, dan daif; bahkan ada di antaranya yang hadis palsu (maudlu').

 

Memasuki abad ketiga Hijriyah, kalangan ahli sunah mulai berupaya memilah hadis sahih dari hadis-hadis lainnya. Malahan, banyak di antara mereka yang menyusun hadis-hadis sahih berdasarkan topik yang dibicarakan. Alhasil, periode ini juga dinamakan sebagai Abad Pembukuan Hadis (Tadwin).

 

Alim ulama pada masa tersebut memiliki reputasi besar dalam keilmuan hadis, bahkan hingga saat ini. Misalnya, Imam Bukhari, sang penyusun kitab Shahih al-Bukhari. Selanjutnya, Imam Muslim yang menyusun Shahih Muslim. Kemudian, ada lagi Imam Dawud, Imam Abu Isa Muhammad at-Tirmidzi, dan Imam Nasa’i yang masing-masing berkarya Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dan Sunan an-Nasa’i. Terakhir, penulis Sunan Ibnu Majah yakni Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Raba'i al-Qazwini. Keenam kitab tersebut digelari generasi sesudahnya sebagai Al-Kutub as-Sittah, Kitab Hadis yang Enam.

 

Dinasti-dinasti Muslim jatuh dan bangun. Pemerintahan berganti dari satu penguasa ke penguasa lainnya. Akan tetapi, kegiatan penyusunan dan pembukuan hadis terus berlangsung dengan pesat. Setidaknya sejak abad kelima Hijriyah, makin banyak ulama menekuni bidang ini. Ada yang tetap menggunakan cara sebagaimana dipakai para penyusun Al-Kutub as-Sittah. Namun, ada pula yang melakukan kritik terhadap metodologi ulama-ulama sebelumnya, baik dari segi matan maupun sanad. Minat yang besar terhadap studi ilmu hadis masih berlanjut hingga kini. Malahan, beberapa sarjana Barat non-Muslim pun tertarik mendalami sunah walaupun bertujuan tertentu.

DOK  WIKIPEDIA

Mengenal al-Musthalah Hadits

Sejak syahidnya Utsman bin Affan di tangan para pemberontak, kerusakan (fitnah) mulai terjadi di mana-mana wilayah Islam. Beberapa perang saudara terjadi. Kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan bahkan saling berhadapan di Perang Siffin pada 657 M.

 

Setelah terjadi rupa-rupa konfrontasi, Hasan bin Ali menerima pemerintahan Muawiyah pada 41 H/661 M. Tahun tersebut dinamakan 'Am al-Jama'ah (Tahun Persatuan) karena kaum Muslimin kembali bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah.

 

Namun, nuansa damai dari `Am al-Jama’ah tidak berlangsung lama. Banyak elite Dinasti Umayyah—wangsa yang didirikan Muwaiyah, berpusat di Damaskus—masih saja memandang sinis (bekas) lawan politik mereka. Padahal, kubu Ali nyata-nyata telah mengalami kekalahan-politik yang telak. Bahkan, beberapa raja Umayyah menerapkan kampanye penuh stigma terhadap sepupu Nabi SAW itu, beserta anak keturunannya.

 

Sebagai contoh, khatib di masjid-masjid negara Umayyah sempat diharuskan oleh rezim untuk menutup khutbah Jumat dengan doa-doa keburukan bagi sang Karamallaahu Wajhah. Instruksi ngawur itu baru dicabut pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Umayyah.

Musthalah hadits adalah sebuah disiplin yang penting dan turut mendukung tegaknya syariat.

Para ekstremis yang berdiri di pihak pro-Ali pun tak kurang parahnya. Mereka sering kali menjelek-jelekkan pemerintahan Umayyah. Bahkan, pada akhirnya Ali sendiri wafat akibat dibunuh Khawarij. Kaum tersebut mulanya mendukung Ali, tetapi kemudian menuduhnya sebagai kafir selepas peristiwa arbitrase (tahkim).

 

Periode antara Perang Siffin dan era Umar bin Abdul Aziz dipenuhi pergolakan politik yang begitu panas. Bagaimana tidak? Masing-masing kelompok, hanya untuk membela patron politiknya, tidak ragu membawa-bawa nama Nabi Muhammad SAW. Pada masa itu, banyak muncul hadis-hadis palsu (maudlu’). Dengan “hadis” tersebut, pendapat (politik) mereka seolah-olah dibenarkan oleh nubuat Rasulullah SAW.

 

Misalnya, perkataan kaum fanatikus Ali sebagai berikut, “’Aliyyun khairu al-basyari, man syakka fiihi kafar,” ‘Ali merupakan sebaik-baik manusia. Barangsiapa meragukannya, maka ia telah kafir.’ Teks itu adalah hadis palsu karena disandarkan pada Nabi SAW, padahal tidak berasal dari beliau. Tidak pernah dari lisan Rasulullah SAW keluar kata-kata demikian.

 

Para pelaku penyimpangan pun kian mudah dijumpai. Seakan tanpa rasa bersalah, mereka mengeklaim sebuah atau beberapa ungkapan sebagai sabda Nabi Muhammad SAW. Hadis-hadis palsu yang disebarkannya tidak lain bertujuan mendukung ideologi atau patron politik masing-masing.

DOK  Rep/Prayogi

Keadaan demikian tentu merisaukan ulama-ulama yang lurus. Seperti dikisahkan Ibnu Sirin, yang dikutip Imam Muslim dalam Shahih-nya, sebagai berikut. “Para sahabat Nabi SAW (awalnya) tidak pernah menanyakan tentang isnad (silsilah hadis). Namun, ketika fitnah mulai tersebar, mereka pun berkata (kepada setiap pembawa teks hadis), ‘Coba sebutkan kepada kami sanad keilmuan kalian!’ Mereka kemudian memilah informasi (sehingga bisa dibedakan antara) ahli sunah dan ahli bidah (yang suka berbohong). Hadis yang disampaikan para ahli sunah, mereka terima. Hadis yang bersumber dari ahli bidah, mereka tolak.”

 

Dari sana, berkembanglah ilmu untuk mengetahui kredibilitas pembawa berita (khabar) hadis. Namanya, ilmu al-Jarah wa at-Ta’dil. Muncul kemudian kaidah-kaidah mengenali asal-usul pembawa khabar, yakni ilmu rijal. Lantas, ilmu sanad pun lahir untuk membuktikan, apakah silsilah sebuah khabar bersambung hingga kepada Nabi SAW atau terputus.

 

Pada fase belakangan, yakni keempat Hijriyah, Muslimin menyambut disiplin ilmu yang mengkaji tentang kaidah-kaidah terkait sanad dan matan (redaksi) hadis. Itulah ilmu musthalah hadits. Di antara manfaat ilmu tersebut adalah, seorang alim dapat membedakan dan menentukan, mana hadis-hadis yang berderajat sahih, hasan, dan dhaif. Pencetus musthalah hadits adalah al-Qadhi Abu Muhammad al-Hasan bin Abdurrahman bin Khallad ar-Ramahurmuzi (360 H). Karyanya yang menjadi tonggak dalam hal ini ialah Al-Muhaddits al-Fashil bayna ar-Rawi wa al-Wa’i.

 

Melihat pada objek kajiannya, musthalah hadits adalah sebuah disiplin yang penting dan turut mendukung tegaknya syariat. Sebab, hadis di samping Alquran adalah juga sumber hukum menurut Islam. Dalam pada itu, para ahli musthalah hadits pun membuat klasifikasi tentang hadis-hadis.

DOK  Rep/PUTRA M AKBAR

Dilihat dari konsekuensi hukumnya, hadis terbagi dua, yakni maqbul (diterima) dan mardud (ditolak). Hadis maqbul terdiri atas hadis sahih dan hadis hasan. Adapun hadis mardud merupakan hadis yang lemah (dhaif).

 

Alhasil, level tertinggi ada pada hadis sahih. Ia dapat menjadi dalil (hujjah) keislaman serta bisa pula diamalkan. Sebuah hadis dipandang sahih apabila memenuhi lima syarat berikut ini.

 

Pertama, sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi). Kedua, hadis itu melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil. Adapun kriteria-kriteria “perawi yang adil” ialah Muslim, baligh, berakal sehat, serta terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan. Ketiga, hafalannya kuat (tsiqah). Keempat, tidak ada syadz, yakni keadaan ketika seorang perawi yang tsiqah menyelisihi perawi yang lebih tsiqah darinya. Kelima, tidak ada kecacatan (illat) dalam hadis yang bersangkutan.

 

Sementara itu, sebuah hadis bisa dikatakan berstatus hasan apabila perawi-perawinya hanya sampai pada tingkatan di bawah tsiqah, yakni shaduq. Artinya, tingkat kesalahannya adalah 50:50. Dalam pengertian lain, tingkat tsiqah-nya di bawah 60 persen. Shaduq bisa terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi dalam rantai sanad.

top

Merintis Ilmu Hadis